Senin, 02 Agustus 2010

Trip

Hello..Nice to meet you
My name is Alexandra Cocella, call me Alex
(kemudian aku memperkenalkan diri)
Oh, i'm in law too..
(aku senang dan penasaran)
Do you know Sorbonne University ? i'm studying there, in faculty of law Sorbonne University
(sesaat aku tak bisa bernafas, Sorbonne University???apa aku tak salah dengar???)
oh great! if you continue your study there, you can call me
(dalam hati aku berkali-kali bilang amin...amin...)


*sekilas percakapan di ViaVia*

Harga Diri Perempuan

Entah bagaimana ekspresiku saat itu, ruang perpustakaan yang sepi membuatku bebas menggambarkan apa yang tengah kubaca. Sebuah skripsi ! tak bermaksud menyombong, tak bermaksud pula untuk sekedar gaya, aku hanya tertarik dengan judul skripsi itu, ketika aku tengah menyusuri rak-rak buku di perpustakaan kampusku tercinta. Jugun ianfu ! 2 kata itu yang menarik perhatianku. Rasanya aku pernah membaca atau mendengarnya, tapi aku lupa. Merasa penasaran kutarik skripsi itu. Rupanya itu judul skripsi Mba Lili Oktari, mahasiswi fakultas hukum angkatan 2005 jurusan hukum internasional. Hmm…aku yang memang sudah tertarik dengan hukum internasional menjadi semakin tertarik.

Lembar demi lembar kubuka. Semakin banyak aku membaca, aku semakin ingin menangis. Ya, sebab skripsi itu mengangkat kisah para jugun ianfu dimasa penjajahan jepang dulu. Jugun ianfu adalah sebutan bagi para perempuan pelacur dimasa itu. Para perempuan yang dipaksa melayani para lelaki bejat untuk memuaskan nafsu binatang mereka. Tentu saja para perempuan itu tidak dengan sukarela menyerahkan diri begitu saja.Kebanyakan dari mereka bisa menjadi jugun ianfu karena ditipu, dipaksa, bahkan diseret begitu saja ketika tengah berjalan. Allah…dimana rasa kemanusiaan ? bukan saja diri mereka yang menjadi korban, bahkan keluarga pun tak luput dari sasaran mereka. Ada seorang gadis yang tiba-tiba diseret ketika tengah berada dihalaman rumahnya. Sang ayah yang melihat hal itu serta merta menolong anak gadisnya, dan para prajurit jepang yang bengis itu pun dengan serta merta menebas leher sang ayah. Allah…sampai disini dadaku sesak,,,ngeri membayangkan situasi saat itu namun juga tersenyum untuk suatu kebenaran, cinta ayah pada sang anak yang tak ternilai…
Para jugun ianfu itu tentu saja tak diperlakukan secara manusiawi. Selain tak mendapat tempat yang layak, mereka juga dipaksa “bekerja” hampir sepanjang hari hingga banyak dari mereka yang rahimnya rusak, tak mendapat kebebasan sedikitpun karena kemanapun pergi mereka selalu dikawal agar tak kabur, belum lagi pandangan dari masyarakat yang menganggap mereka sebagai perempuan nakal. Padahal sungguh, bukan mereka yang menginginkan itu semua. Lepas penjajahan Jepang, sebagian besar dari mereka tak bernasib baik. Keluarga sudah tak ada, masyarakat tak mau menerima, akhirnya hidup terlunta-lunta, menumpang hidup pada orang lain, bahkan sampai harus tinggal dibekas kandang hewan. Sementara itu, pihak pemerintah penjajah yang seharusnya bertanggung jawab tak bereaksi apa-apa. Tak ada ganti rugi, tak ada perlindungan yang layak, bahkan permohonan maaf pun tidak. Padahal sungguh, para jugun ianfu itu tak hanya menderita secara fisik, namun juga secara batin. Hidup mereka kacau,ya hanya 5 kata yang bisa menggambarkannya, K-A-C-A-U..

Kemudian sebuah ironi muncul. Kebejatan saat ini bukan hanya dilatarbelakangi motif ekonomi, namun memang karena tak ada lagi perasaan malu. Jika dulu para perempuan sungguh perkasa mempertahankan kehormatannya, maka kini semakin banyak yang berlomba mengabadikan perbuatan bejat mereka. Ada apa ini ??? jika dulu para perempuan itu menjadi jugun ianfu karena terpaksa, maka kini banyak yang rela menyerahkan dirinya begitu saja demi selembar uang. Hfff…dimana harga diri seorang perempuan ??? Aku sungguh tak mengerti..

Rasa sesak itu tak berhenti…suara telepon membuyarkan lamunanku, suara ibu diseberang sana. Dengan khidmat beliau menuturkan pesannya, hingga satu pesannya yang sebenarnya sudah berulang kali kudengar tapi kali ini terasa berbeda “ jaga diri baik-baik nak, jangan sembarangan bergaul,ibu percaya padamu tapi perasaan orang tua tak bisa dibohongi, dimanapun kamu berada orangtua pasti cemas, apalagi kamu bungsu, perempuan pula, jaga diri baik-baik, jangan sia-siakan kepercayaan ibu.kamu sekarang tanggungjawab ibu” deg…kata-kata itu begitu menghujam. Tak lama kemudian ibu bercerita tentang keadaan kampungku, keadaan teman-temanku. Banyak dari mereka yang sudah menikah, namun banyak pula dari mereka yang menikah karena terpaksa, karena sudah “menabung” dulu sebelumnya. Miris…kubayangkan wajah-wajah polos kami ketika SD dulu. Kelu rasanya membayangkan sahabat-sahabat baikku itu. Namun aku tahu, tak pantas membebankan semua kesalahan pada mereka. Ini seperti lingkaran setan, entah dimulai dan berakhir dimana. Televisi yang bannyak menipu, membuat para perempuan tak pernah nyaman dengan diri mereka, rambut rontok malu, kulit hitam malu, semuanya serba tak nyaman,hingga sekarang bisa kita lihat efek dari semua itu. Para perempuan berlomba mempercantik diri, namun malu mempercantik hati. Jilbab dikatakan penghalang, berhijab dibilang kuno.
Apakah ini semacam pergesaran nilai ? entahlah, perlu sebuah penelitian khusus untuk itu nampaknya.

“Apakah benar emansipasi berarti bebas tanpa batas ?
Jika seperti itu, dari sisi mana kita bisa menilai harga diri seorang perempuan ?
Jangan jadikan euphoria sebagai sebuah alasan
Jika memang mau terjun bebas, silahkan terjun sendiri saja !
Karena Perempuan Indonesia adalah para perempuan tangguh
Hingga Belanda saja dibuat kocar-kacir oleh Cut Nyak Dien”



(untuk diri sendiri, evaluasi semuanya nina.. benarkah semua tindakanmu ini ???
Harga dirimu, kamu sendirilah yang menentukan…)