Senin, 09 Agustus 2010

Ramadhan Dalam Sepotong Tahu

Entah, sebenarnya aku juga bingung dengan apa hikmah dibalik peristiwa ini, tapi jika ingat kembali selalu membuncahkan kerinduan akan suasana ramadhan dirumah tercinta...
Ramadhan tahun 2007, ramadhan terakhirku yang kulewatkan sepenuhnya dengan orang-orang tercinta di rumah tercinta. Awal ramadhan kala itu, lepas shalat tarawih kulihat pamanku tergesa-gesa menuju rumahku. kehebohan pun terjadi, rupanya bibiku (yang berarti istri pamanku) akan segera melahirkan. Tanpa ba bi bu lagi kami sekeluarga segera menuju kerumah nenek, karena memang paman serumah dengan nenek. si ceriwis Khilda pun ikut serta padahal dia sudah tertidur lelap. Kulihat bibiku sedang meringis-ringis kesakitan. Melihatnya meringis kesakitan begitu aku malah ikut-ikutan meringis juga. Kasihan jelas, tapi apa daya tak ada yang bisa kulakukan. akhirnya bibi dibawa ke bidan terdekat. ibu sebagai yang dituakan ikut menemani bibiku. sementara aku, khilda, teteh, dan kakak iparku menemani nenek. Berita yang kemudian kudengar bukanlah berita yang baik. Bibi harus dibawa ke rumah sakit ! tak lain dan tak bukan karena ada masalah dalan proses persalinannya sehingga harus dioperasi. aku tak begitu tahu persis kenapa. malam itu juga ibu beserta bibi-bibi dan pamanku yang lain membawanya ke rumah sakit. Sementara aku yang awalnya akan menginap di rumah nenek terpaksa harus pulang karena khilda meminta pulang. Jadilah malam itu aku, teteh, khilda dan kakak iparku pulang ke rumah.
Waktu sahur, teteh membangunkanku karena aku terlambat bangun. Baru sadar kalau makanan sisa buka sudah habis. Aku sempat tercenung, trus gimana mau sahur ???
tiba-tiba begitu sampai dimeja makan....apa itu? sayur dengan warna yang aneh dan beberapa potong tahu di atas piring. Siapa yang masak ???dan...what ???teteh masak? hampir megap-megap aku tak percaya. beneran nih ??? beneran pengen ketawa waktu itu...tapi aku tahan.
"udah lo gak usah ketawa, cepetan makan" melihat muka adiknya yang sudah mau meledak tertawa teteh segera memberikan instruksi. teteh yang memang kuliah di jakarta, kadang-kadang masih membawa logat jakartanya, tentu saja hanya ketika berbicara denganku.
Aku manut, kutarik kursi. rupanya khilda pun sudah disana. dia yang biasanya nyerobot duluan kalau makan, kali ini mingkem. kulihat ekspresinya, sama-sama menahan tawa juga. mungkin jika kuterjemahkan seperti ini "jangan makan bi, pasti gak enak. mamah kan gak pernah masak".
tapi akhirnya demi menghargai usaha teteh kusendokan juga piring dan sayur aneh itu...uhuk ! sayur apa ni? mending kalo ada rasanya, ini benar-benar hambar !
"iya, itu gue yang masak. daripada lo gak sahur trus maag lo kambuh mending gue masakin"
"tapi ini apaan sih? emang teteh pake bumbu apa kok rasanya gak jelas gini?" tanyaku, dan kali ini aku benar-benar tertawa terbahak. Sementara kakak iparku cuma mesem-mesem gak karuan
"lo gak lihat? itu kan jamur?"
jamur?
"trus bumbunya pake apaan?"tanyaku lagi
"gak tahu, gue asal ngambil aja. apa yang ada ya gue masukin, yang penting kan jadi"
Gubrak !!!???
kepalaku pening..teteh..teteh...
"udah mending lo makan, keburu imsak entar"
tak yakin dengan sayur itu, aku pun akhirnya makan hanya dengan sepotong tahu, lumayanlah, daripada enggak, hehe
mendapat kesempatan untuk mencela, sepanjang perjalanan sahur itu tak henti aku menertawakannya. aku tak sendirian, khilda dan kakak iparku juga jadi partnerku. Tapi dasar tetehku emang cuek, segala hinaan itu ditanggapinya saja dengan santai...
disaat-saat seperti itu aku jadi merindukan ibu. Duh...kalau ada beliau pasti semuanya berees...
tiba-tiba hpku berdering. Rupanya pamanku mengabarkan kalau bibiku sudah selamat alias sudah melahirkan.
"trus jadi operasi gak?"
"nggak, keburu keluar bayinya"
ding!

ya, sejujurnya aku juga bingung dengan hikmah peristiwa di atas, apaan ya? tapi justru itu yang selalu membuatku rindu akan rumah, apalagi menjelang ramadhan begini. peristiwa-peristiwa kecil, yang mungkin biasa, tapi ternyata begitu istimewa.hfff...ini ramadhan ketiga, yang kulewatkan di negeri orang...
Memang, tak akan pernah ada yang mengalahkan rumah sendiri, bahkan istana termewah sekalipun. dan sekarang, andai saja boleh meminta, hanya satu hal yang aku inginkan, melewatkan ramadhan setidaknya hari pertama dengan ibu, dua keponakan tercinta, teteh dan kakak ipar di rumah. tapi rasanya tak mungkin, hiks...

Kamis, 05 Agustus 2010

Ironi

Awalnya aku pikir ini hanya gambaran kecil saja, tapi sepertinya pikiran itu harus ditinjau lagi...

Suatu hari di semester 4, tanggalnya lupa...
Kuliah siang hari yang bikin gerah sejujurnya terkadang menerbitkan rasa enggan untuk beranjak ke ruang kelas. Namun apa daya, SPP sudah dibayar, kegiatan lain pun tak ada, maka tak ada pilihan lain selain bertemu dengan sang dosen diruang kelas. Sebelum menunaikan kewajiban untuk belajar, kutunaikan dulu kewajibanku pada-Nya, shalat dzuhur.
Mushola cukup ramai,apalagi tempat akhwat yang memang cukup sempit membuat keadaan cukup sesak. Karena dikejar waktu kuliah mau tak mau aku pun harus segera melaksanakan kewajibanku itu. Padahal jika tak ada kuliah, aku lebih suka menunggu keadaan agak sepi dulu baru shalat (entahlah, pikiran ini salah atau tidak). Shalat agak terburu-buru, benerin jilbab juga terburu-buru, dan terburu-burulah pula aku melangkahkan kaki keluar mushola. Namun....aku berhenti seketika. didepanku seorang ibu tengah menunaikan shalat. Bukan apa-apa, aku melihat suatu keganjilan. Ibu itu memakai mukena, tapi hanya mukena atasannya saja! otomatis aurat dikakinya terbuka dan dapat dilihat siapapun, meskipun ibu itu memakai rok panjang. aku tercengang...
aurat itu... bukankah berarti shalatnya tidak sah ???
kepalaku pening, baru kali ini kulihat hal seperti itu

Rabu, 04 Agustus 2010 setelah rapat OC PPSMB
Kali ini juga agak grasa-grusu aku datang ke kampus. Sebelumnya aku tidak bisa datang untuk briefing pemandu karena harus bertemu dengan seorang teman, urgent. hujan yang deras cukup menghambatku untuk kembali ke kampus,padahal jam 4 sore itu aku harus datang dalam rapat OC PPSMB. maka begitu hujan mulai reda aku dan temanku buru-buru meluncur ke kampus, meski dengan pakaian yang cukup basah. Teringat belum shalat ashar aku pun segera melangkahkan kaki menuju mushola. "daripada shalatnya entar-entar, ga tau deh selesai rapat jam berapa" begitu pikirku dalam hati.
Mushola sepi, hanya sepasang sepatu dengan hak yang cukup tinggi kulihat di depan mushola. karena tak mungkin menitipkan tas pada siapapun, maka kuputuskan tas kubawa sembari mengambil wudhu. Ketika hendak takbiratul ihram, lagi-lagi aku tercengang. disampingku seorang ibu tengah menunaikan shalat dengan rambut (tepatnya poni) yang tergerai keluar. Ups ! jika dilihat dari tatanannya, aku yakin poni itu bukan tidak sengaja terlihat melainkan memang sengaja ditata seperti itu. aku meringis dalam hatoi "iya sih bu kalo mau shalat itu harus rapi, indah, enak dipandang, tapi bukan dengan memperlihatkan aurat " sejujurnya bingung, antara ingin tertawa atau tersenyum kecut.

Hmm...ya, awalny aku pikir hanya beberapa gelintir orang saja yang belum memahami mengenai wajibnya menutup aurat ketika shalat. tapi setelah melihat dua kejadian diatas dan kejadian-kejadian lain yang serupa, pikiranku terbuka. rupanya pr itu masih banyak.mmm...aku pikir penting untuk menempel semacam slogan atau apalah di mushola akhwat tentang shalat, terutama mengenai aurat.

Senin, 02 Agustus 2010

Trip

Hello..Nice to meet you
My name is Alexandra Cocella, call me Alex
(kemudian aku memperkenalkan diri)
Oh, i'm in law too..
(aku senang dan penasaran)
Do you know Sorbonne University ? i'm studying there, in faculty of law Sorbonne University
(sesaat aku tak bisa bernafas, Sorbonne University???apa aku tak salah dengar???)
oh great! if you continue your study there, you can call me
(dalam hati aku berkali-kali bilang amin...amin...)


*sekilas percakapan di ViaVia*

Harga Diri Perempuan

Entah bagaimana ekspresiku saat itu, ruang perpustakaan yang sepi membuatku bebas menggambarkan apa yang tengah kubaca. Sebuah skripsi ! tak bermaksud menyombong, tak bermaksud pula untuk sekedar gaya, aku hanya tertarik dengan judul skripsi itu, ketika aku tengah menyusuri rak-rak buku di perpustakaan kampusku tercinta. Jugun ianfu ! 2 kata itu yang menarik perhatianku. Rasanya aku pernah membaca atau mendengarnya, tapi aku lupa. Merasa penasaran kutarik skripsi itu. Rupanya itu judul skripsi Mba Lili Oktari, mahasiswi fakultas hukum angkatan 2005 jurusan hukum internasional. Hmm…aku yang memang sudah tertarik dengan hukum internasional menjadi semakin tertarik.

Lembar demi lembar kubuka. Semakin banyak aku membaca, aku semakin ingin menangis. Ya, sebab skripsi itu mengangkat kisah para jugun ianfu dimasa penjajahan jepang dulu. Jugun ianfu adalah sebutan bagi para perempuan pelacur dimasa itu. Para perempuan yang dipaksa melayani para lelaki bejat untuk memuaskan nafsu binatang mereka. Tentu saja para perempuan itu tidak dengan sukarela menyerahkan diri begitu saja.Kebanyakan dari mereka bisa menjadi jugun ianfu karena ditipu, dipaksa, bahkan diseret begitu saja ketika tengah berjalan. Allah…dimana rasa kemanusiaan ? bukan saja diri mereka yang menjadi korban, bahkan keluarga pun tak luput dari sasaran mereka. Ada seorang gadis yang tiba-tiba diseret ketika tengah berada dihalaman rumahnya. Sang ayah yang melihat hal itu serta merta menolong anak gadisnya, dan para prajurit jepang yang bengis itu pun dengan serta merta menebas leher sang ayah. Allah…sampai disini dadaku sesak,,,ngeri membayangkan situasi saat itu namun juga tersenyum untuk suatu kebenaran, cinta ayah pada sang anak yang tak ternilai…
Para jugun ianfu itu tentu saja tak diperlakukan secara manusiawi. Selain tak mendapat tempat yang layak, mereka juga dipaksa “bekerja” hampir sepanjang hari hingga banyak dari mereka yang rahimnya rusak, tak mendapat kebebasan sedikitpun karena kemanapun pergi mereka selalu dikawal agar tak kabur, belum lagi pandangan dari masyarakat yang menganggap mereka sebagai perempuan nakal. Padahal sungguh, bukan mereka yang menginginkan itu semua. Lepas penjajahan Jepang, sebagian besar dari mereka tak bernasib baik. Keluarga sudah tak ada, masyarakat tak mau menerima, akhirnya hidup terlunta-lunta, menumpang hidup pada orang lain, bahkan sampai harus tinggal dibekas kandang hewan. Sementara itu, pihak pemerintah penjajah yang seharusnya bertanggung jawab tak bereaksi apa-apa. Tak ada ganti rugi, tak ada perlindungan yang layak, bahkan permohonan maaf pun tidak. Padahal sungguh, para jugun ianfu itu tak hanya menderita secara fisik, namun juga secara batin. Hidup mereka kacau,ya hanya 5 kata yang bisa menggambarkannya, K-A-C-A-U..

Kemudian sebuah ironi muncul. Kebejatan saat ini bukan hanya dilatarbelakangi motif ekonomi, namun memang karena tak ada lagi perasaan malu. Jika dulu para perempuan sungguh perkasa mempertahankan kehormatannya, maka kini semakin banyak yang berlomba mengabadikan perbuatan bejat mereka. Ada apa ini ??? jika dulu para perempuan itu menjadi jugun ianfu karena terpaksa, maka kini banyak yang rela menyerahkan dirinya begitu saja demi selembar uang. Hfff…dimana harga diri seorang perempuan ??? Aku sungguh tak mengerti..

Rasa sesak itu tak berhenti…suara telepon membuyarkan lamunanku, suara ibu diseberang sana. Dengan khidmat beliau menuturkan pesannya, hingga satu pesannya yang sebenarnya sudah berulang kali kudengar tapi kali ini terasa berbeda “ jaga diri baik-baik nak, jangan sembarangan bergaul,ibu percaya padamu tapi perasaan orang tua tak bisa dibohongi, dimanapun kamu berada orangtua pasti cemas, apalagi kamu bungsu, perempuan pula, jaga diri baik-baik, jangan sia-siakan kepercayaan ibu.kamu sekarang tanggungjawab ibu” deg…kata-kata itu begitu menghujam. Tak lama kemudian ibu bercerita tentang keadaan kampungku, keadaan teman-temanku. Banyak dari mereka yang sudah menikah, namun banyak pula dari mereka yang menikah karena terpaksa, karena sudah “menabung” dulu sebelumnya. Miris…kubayangkan wajah-wajah polos kami ketika SD dulu. Kelu rasanya membayangkan sahabat-sahabat baikku itu. Namun aku tahu, tak pantas membebankan semua kesalahan pada mereka. Ini seperti lingkaran setan, entah dimulai dan berakhir dimana. Televisi yang bannyak menipu, membuat para perempuan tak pernah nyaman dengan diri mereka, rambut rontok malu, kulit hitam malu, semuanya serba tak nyaman,hingga sekarang bisa kita lihat efek dari semua itu. Para perempuan berlomba mempercantik diri, namun malu mempercantik hati. Jilbab dikatakan penghalang, berhijab dibilang kuno.
Apakah ini semacam pergesaran nilai ? entahlah, perlu sebuah penelitian khusus untuk itu nampaknya.

“Apakah benar emansipasi berarti bebas tanpa batas ?
Jika seperti itu, dari sisi mana kita bisa menilai harga diri seorang perempuan ?
Jangan jadikan euphoria sebagai sebuah alasan
Jika memang mau terjun bebas, silahkan terjun sendiri saja !
Karena Perempuan Indonesia adalah para perempuan tangguh
Hingga Belanda saja dibuat kocar-kacir oleh Cut Nyak Dien”



(untuk diri sendiri, evaluasi semuanya nina.. benarkah semua tindakanmu ini ???
Harga dirimu, kamu sendirilah yang menentukan…)